Cerita Instant vs Cerita Matang

Akhirnya bisa baca lagi setelah tanggungan nulis kelar. Buku-buku yang harus dibaca udah numpuk banget. Yang ada di foto ini baru sebagian kecil dari tumpukannya, lho. 


Sama seperti pembaca yang punya target dalam membaca, penulis pun punya target. Target saya nggak muluk. Cukup satu cerita baru tiap tahun. Ini pun sepertinya sudah terlalu muluk, karena rerata penulis best seller nggak menghasilkan cerita sesering itu. Kenapa?

Karena cerita yang berkualitas, membutuhkan proses penggodokan yang TIDAK instant. Riset seharusnya bukan sekedar nanya mbah Google terus copas hasil Googlingan ke tulisan tanpa kroscek. Dan Brown aja butuh travelling ke Eropa berkali-kali dan belajar di Louvre selama berwaktu-waktu demi Da Vinci Code. Dee Lestari sampai kursus meracik parfum di Singapura demi Aroma Karsa. Rosi Simamora butuh setahun cuma untuk bongkar pasang plot dan PoV Negeri Para Roh. Masa saya yang bermimpi jadi pencerita seperti mereka, sudah puas hanya dengan mengandalkan mbah Google dan semboyan 'pokoke nulis'? Maluuu! 

Intinya, tahun ini saya lebih banyak menimba ilmu, mengumpulkan info, dan revisi habis-habisan. Revisi? Iya. Karena setelah dapat satu ilmu saja, jiwa perfeksionis saya meronta, ingin membongkar ulang cerita yang sudah jadi. Tapi nggak apa-apa kalau hasilnya sepadan. Seperti yang saya yakini selama ini, ada usaha ada rupa. Saya percaya proses, bukan mie instant.

#books #bookstagram #bookstagrammer #bookstagrammerindonesia #booksbooksbooks #booksofinstagram #booksofig #igreads #igbooks #literasi #bacabukuoriginal #novel #buku

Komentar

Postingan Populer